SYARIAHNOW.COM – Santri berbeda dengan kiai. Dia juga tidak harus sama dengan kiai, baik dalam pandangan, sikap, maupun keahlian. Secara pribadi Saya memiliki pandangan bahwa santri tak mesti menjadi “na’at” dari sosok kiai sebagai “man’ut”.
Tak serta merta santri menjadi “nakirah” atau “makrifat” karena mengikuti bentuk “nakirah” dan “makrifat”-nya kiai. Santri boleh saja berbeda dengan kiai, akan tetapi perbedaan itu tidak menghilangkan koneksitas antar-keduanya.
Makanya Saya menyebutnya bagaikan “Khabar Jumlah”. Kenapa demikian? Sebab Khabar Jumlah disyaratkan memiliki apa yang biasa disebut dengan “Rabith”. Yaitu sesuatu yang menghubungkan antara Khabar Jumlah dengan Mubtada. Di sini yang menjadi mubtada adalah kiai.
Baca Juga: OJK Geber Literasi dan Inklusi Keuangan di Berbagai Kota
Dengan kata lain sehebat apapun santri, baik sebagai tokoh maupun kiai muda yang memiliki muhibbin maupun pengikut, maka ia tetap membutuhkan “rabith”.
Kalau ada yang berujar, bukankah ada Khabar Jumlah yang tidak memiliki rabith? Jawabnya, betul! Tapi perlu diingat Khabar Jumlah yang tidak lagi menggunakan rabith adalah Khabar Jumlah yang ingin menyatakan eksistensinya sendiri. Sebagaimana kalimat قوله حسبي الله
Kalimat “Hasbiyallah” sebagai Khabar Jumlah dikarenakan berhasil menampakkan eksistensinya sendiri maka dia tidak memiliki “Rabith” yang mengkoneksikan kepada lafal “Qauluhu”.
Baca Juga: Pentingnya “Cangkem Elek” dalam Beragama
Boleh saja siswa/i di pesantren tak memerlukan Rabith. Tapi ingat! Seperti contoh kalimat di atas, maka kiai sebagai mubtada’ dari Khabar Jumlah, beliau akan selalu menyebut dan menceritakan santrinya yang tidak mau memakai “rabith”, bahwa santri yang berhasil menjadi khabar jumlah itu adalah santrinya.
Kiai di manapun akan selalu mengingat dan mendoakan santrinya. Pahami itu, wahai para santri! Walau kamu kini sudah jadi orang hebat.
Penulis: M. Ishom el Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Serang)